Saturday, October 18, 2008

ASSAB’UL-MATSANI DAN EMPAT WALI KUTUB




Suatu ketika Rasulullah saw. mengadu kepada Tuhan: “Aku akan meninggalkan dunia ini, Aku akan meninggalkan umatku. Siapakah yang akan menuntun mereka setelahku? Bagaimana nasib mereka sesudahku?”, Allah lalu menurunkan firman-Nya :

” وآتيناك سبعا من المثاني والقرآن العظيم ”

Jangan khawatir, Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung. Dengan keduanya maka umat islam sesudahmu akan selamat dari kesesatan (bila mereka berpegang kepadanya).




Assab’ul-matsani dan al-Qur’an, dua pegangan yang menyelamatkan kita dari kesesatan, dua perkara yang telah membuat Rasul tenang meninggalkan umat. Apakah Assab’ul-matsani itu? dan apakah al-Qur’an itu? Mungkin semua kita tahu apa itu al-Qur’an, sebuah kitab suci yang mengandung tuntunan-tuntunan Tuhan kepada para hamba-Nya, yang tentunya bila diamalkan dengan baik maka selamatlah kita.

Namun tentunya Qur’an saja tidak akan cukup? Lalu bagaimana dengan Assab’ul-matsani? apakah semua kita mengetahuinya? dan sudahkah kita mengamalkannya atau berpegang kepadanya? Dan mengapa Assab’ul-matsani menempati posisi pertama sebelum al-Qur’an? sedikit tidak itu menunjukkan bahwa Assab’ul-matsani merupakan pegangan yang sangat urgen, yang tanpanya keisalaman seseorang menjadi samar dan diragukan.

Ironinya, para ahli tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan firman-Nya “Sab’an minal-matsani”. Ada yang mengatakan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah dengan alasan karena surat Fatihah adalah induknya al-Qur’an dan secara kebetulan jumlah ayatnya pun tujuh ayat.

Ada pula yang menafsirkannya dengan tujuh surat terpanjang dalam al-Qur’an, yaitu: Surat-surat Baqarah, Ali Imran. Annisa’, al-Ma’idah, al-An’am, al-A’raf dan al-Anfal (bersama Attaubah).

Ada yang berpendapat bahwa Assab’ul-matsani adalah al-Qur’an itu sendiri.

Dan masih banyak lagi penafsiran lain tentang apa itu Assab’ul-matsani. Sebagaimana mereka juga berbeda pendapat tentang; kapan malam Lailatul-qadr, apa itu Ism a’zam, apa itu Shalat wustha, kapan waktunya Sa’atul-ijabah, siapa itu wali Allah, apa itu Kaba’ir, dan lain sebagainya. Agaknya para ulama’ memang tak pernah lepas dari perbedaan. Apapun sebabnya, kita tetap meyakini adanya hikmah yang tersirat. Dan apapun faktanya, kita tetap harus mencari yang benar lalu menerimanya dan juga membelanya. Yang salah, kita maafkan bersama, mungkin saja bukan rizki mereka. Yang berijtihad dengan baik dan benar, tetap akan dapat pahala. Sementara mereka yang menjadikan hawa nafsu sebagai alat penafsir utama, tanpa landasan ilahi yang bisa diterima “Wa man lam yaj’alillahu lahu nuran fama lahu min nur”, maka laknat sudah menyelimuti mereka. Belum mendapat nur dan restu dari Allah, sudah seenak-enaknya menafsirkan firman Allah.

Bila kita teliti dengan seksama, kita akan melihat sejumlah penafsiran di atas ternyata belum mampu memberikan sebuah kepuasan, sebab walau tampak berbeda namun sebetulnya sama dan tak berbeda, semuanya menisbatkan Assab’ul-matsani itu kepada al-Qur’an itu sendiri, baik itu surat Fatihah, tujuh surat terpanjang maupun yang lainnya, semua itu adalah al-Qur’an (bagian dari al-Qur’an). Sebuah tanda tanya yang harus terungkap adalah: Bukankah Allah swt. telah menyebutkan “Aku telah mengaruniakanmu Assab’ul-matsani dan al-Qur’an yang agung”? bila Allah telah menyebut al-Qur’an setelah Assab’ul-matsani maka sudah tentu Assab’ul-matsani adalah perkara lain selain al-Qur’an. Tidakkah kita menyadari hal itu?

Bila Assab’ul-matsani adalah surat Fatihah, bukankah surat Fatihah merupakan bagian dari al-Qur’an itu sendiri? bukankah Allah telah menyebut al-Qur’an sesudahnya “wal-Qur’an al-azim”? yang mana surat Fatihah sudah terkandung di dalamnya? Ataukah surat Fatihah itu bukan bagian dari al-Qur’an?

Apabila Assab’ul-matsani itu adalah al-Qur’an atau sebagian dari isi al-Qur’an, tidakkah cukup Allah mengatakan: Aku telah memberimu al-Qur’an (saja, tanpa menyebut Assab’ul-matsani)? bukankah al-Qur’an telah mencakup semua surat-suratnya termasuk Fatihah dan tujuh surat terpanjang?

Lalu mengapa Assab’ul-matsani disebutkan oleh Allah? Walhasil, Assab’ul-matsani adalah perakra lain selain al-Qur’an. Bukan al-Qur’an, bukan pula beberapa surat atau ayatnya. Kalau anda masih bersikeras mengatakan Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah, maka anda telah berani memisahkannya dari al-Qur’an! dan anda telah menodai kemukjizatan firman-Nya yang terlepas dari segala kecacatan, bahasa dan sastranya.

“Sab’an minal-matsani” terdiri dari tiga kata; Sab’an, Min dan al-Matsani. Sab’an berarti tujuh. Min berarti dari. Sementara al-Matsani adalah bentuk jama’ dari Matsna yang artinya dua-dua. Dengan demikian maka Matsani berarti empat-empat (berkelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat).

Kelompok-kelompok itu amat banyak, namun Allah hanya menyebutkan / mengutus tujuh kelompok saja dari kelompok-kelompok itu (sebagai pemimpin matsani yang lain) “Sab’an minal-matsani”; Tujuh kelompok dari kelompok-kelompok al-Matsani.

Tujuh kelompok itulah yang disebut dan dimaksud dengan Assab’ul-matsani, yang mana setiap kelompok terdiri dari empat orang.

Tujuh kelompok itulah yang bertugas melayani Rasul dan umat sejak awal penciptaan sampai kiamat menjelang.

Tujuh kelompok itulah yang akan menunjuki umat ke jalan yang benar.

Tujuh kelompok itulah yang akan membimbing umat dalam mengamalkan al-Qur’an.

Tujuh kelompok itulah yang akan meneruskan dan mewarisi perjuangan Rasul saw.

Tujuh kelompok itulah yang akan melayani sandal Rasul saw. demi menjunjung tinggi siyadah beliau.

Tujuh kelompok itulah yang bila diikuti, dipegang dan ditaati umat maka selamatlah mereka dari kesesatan.

Tujuh kelompok itulah pelayan-pelayan Rasul dan umat sampai hari kiamat (maupun sesudahnya).

Allah berfirman: “Wa atainaka sab’an minal-matsani wal-Qur’anal-azim”; Aku telah mengutus demi kamu hai Muhammad tujuh kelompok matsani yang akan melayanimu dan melayani umatmu, Akupun telah menurunkan al-Qur’an agar menjadi pegangan kedua bagi umatmu.

Mengapa al-Qur’an dinomorduakan oleh Allah swt.? Jawabannya adalah karena seorang penunjuk lebih diutamakan dari pada sebuah buku petunjuk. Allah swt. berfirman:

” قد جاءكم من الله نور وكتاب مبين ”

Telah datang kepadamu: (1) seorang Rasul, dan (2) al-Qur’an. Maka Rasul itu lebih penting dari pada al-Qur’an, sebab al-Qur’an (buku petunjuk) tidak akan difahami dengan benar tanpa Rasul (seorang penunjuk).

Allah swt. juga berfirman:

” فالذين آمنوا به وعزروه ونصروه واتبعوا النور الذي أنزل معه أولئك هم المفلحون ”

Orang-orang yang beruntung adalah apabila mereka: (1) beriman kepada Nabi Muhammad, (2) memuliakannya (3) membelanya, kemudian (4) mengikuti kitab suci yang dibawanya. Maka haruslah kita mencari seorang penunjuk, kemudian mencintainya, menghormatinya, membelanya, mengagung-agungkannya dan mentaatinya, setelah itu barulah kita mengikuti buku petunjuk yang ia bawa.

Dari itulah Allah swt. mendahulukan Assab’ul-matsani sebelum al-Qur’an. Bukan karena al-Qur’an itu tidak penting, melainkan karena tanpa seorang penerang dan penunjuk maka al-Qur’an tak dapat difahami dengan benar dan tak dapat diamalkan dengan baik.

Lalu… siapakah Assab’ul-matsani itu? siapa saja kelompok-kelompok itu?

Maulana Syekh Mukhtar ra. menyebutkan bahwasanya tujuh kelompok (Assab’ul-matsani) tersebut adalah sebagai berikut :

1. Empat pemimpin para mala’ikat Kurubiyyin / Alin / Haffin hawlal-arsy.

2. Empat pemimpin para mala’ikat Falakiyyin : Jibril, Mika’il, Israfil dan Izra’il Alaihimussalam.

3. Empat pemimpin para nabi dan rasul yang disebut dengan Ulul-azmi : Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa Alaihimussalam.

4. Empat Pemimpin para sahabat Rasul yang disebut dengan Khulafa’ rasyidin : Saidina Abu Bakr, Saidina Umar bin Khaththab, Saidina Utsman bin Affan dan Saidina Ali bin Abi Thalib Radliallahu anhum ajma’in.

5. Empat pemimpin para penulis wahyu (al-Qur’an) yang disebut dengan al-Abadilah / Abadilatul-Qur’an : Saidina Abdullah bin Umar, Saidina Abdullah bin Azzubair, Saidina Abdullah bin Mas’ud dan Sadina Abdullah bin Abbas Radliallahu anhum ajma’in.

6. Empat pemimpin para imam syari’at (mazhab fiqh) yang disebut dengan al-A’immah al-Arba’ah / A’immatul-mazahibil-arba’ah : Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asysyafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal Radliallahu anhum ajma’in.

7. Empat pemimpin para imam tarekat (tasawuf), pemimpin para auliya’ullah yang disebut dengan al-Aqthab al-Arba’ah (empat wali kutub) / A’immatuththariqah wal-haqiqah : Syekh Ahmad Arrifa’i, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani, Syekh Ahmad al-Badawi dan Syekh Ibrahim Addusuqi Radliallahu anhum ajma’in.

Tujuh kelompok di atas-lah Assab’ul-matsani itu, yang memimpin semua matsani yang lain, yang semuanya berjumlah 28 orang sebanyak huruf-huruf dalam bahasa arab.

Ketujuh kelompok itu dipimpin oleh tiga penguasa tertinggi yaitu: Imam al-Hasan, Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radliallahu anhum.

Allah swt. berfirman: “Ha Mim, Ain Sin Qaf”. Ha Mim telah diulang dalam al-Qur’an sebanyak tujuh kali yang mana hal tersebut mengisyaratkan kepada Assab’ul-matsani di atas, sedangkan Ain Sin Qaf hanya disebut satu kali saja dalam al-Qur’an, yang mana ketiga huruf itu mengisyaratkan kepada tiga pemimpin Assab’ul-matsani (Imam al-Hasan, Imam al-Husain dan Imam al-Mahdi Radiallahu anhum ajma’in).

Sementara pemimpin tertinggi (Ra’is Akbar) yang mengepalai dan mengasuh mereka semua adalah: Rasulullah wa Habibullah Sayyiduna wa Maulana Muhamamd Shallallahu alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits Rasul menyebutkan bahwa Assab’ul-matsani itu adalah surat Fatihah. Itu benar, namun yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah bahwasanya Assab’ul-matsani (tujuh kelompok) itu telah diisyaratkan oleh salah satu ayat dalam surat Fatihah, tepatnya pada firman-Nya :

” اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم ”

Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau karuniai nikmat. Mereka itulah Assba’ul-matsani, sebagaimana firman Allah :

” الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا ”

Orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah adalah: Para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, mereka itulah sebaik-baik teman. Mereka itulah Assab’ul-matsani.

Di antara makna lain dari kata Matsani adalah : bentuk jama’ dari Matsniyyah yang artinya: besi yang dibengkokkan. Itu mengisyaratkan bahwa Assab’ul-matsani adalah orang-orang atau kelompok-kelompok yang telah sampai kepada Allah swt. lalu dikembalikan oleh-Nya ke bumi untuk membimbing umat kepada-Nya.

Kata Matsani juga berasal kata dari Tsana’ yang artinya pujian, tentunya tujuh kelompok di atas telah mendapat pujian suci dari Tuhan mereka, Allah Subhanahu wata’ala.

Di antara tujuh kelompok di atas, nampaknya kelompok terakhir-lah yang cukup asing bagi umat. Para mala’ikat kurubyyin, mala’ikat falakiyyin, nabi ulul-azmi, khulafa’ rasyidin, empat abadilah dan imam mazhab empat… sudah cukup populer. Sedangkan empat wali kutub tertinggi yang mengepalai semua auliya’ Allah di muka bumi ini dan mengimami tarekat dan hakekat sampai muncul Imam al-Mahdi, tidak begitu banyak diketahui atau dikenal orang. Mungkin saja karena salah satu ciri khas para wali adalah: tersembunyi. Namun walau demikian mereka cukup masyhur di kalangan orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk Allah, yakni mereka para pecinta tasawuf dan pengikut tarekat. Mereka adalah pecinta Rasul dan Ahlul-bait.

Oleh karena itu, dalam hal ini penulis ingin mengutip perkataan Syekh Abul-Huda Ashshayyadi ra. dalam kitabnya Qiladatul-Jawahir yang berbunyi sebagai berikut :

قد اشتهر في المشرق والمغرب بين المسلمين شأن الأربعة الأقطاب المعظمين، أعني شيخنا ومفزعنا السيد أحمد الكبير الحسيني الرفاعي، وسيدنا السيد الشيخ عبد القادر الجيلاني الحسني، وسيدنا السيد الشيخ أحمد البدوي الحسيني، وسيدنا السيد الشيخ إبراهيم الدسوقي الحسيني . فهؤلاء الأربعة بلا ريب خلاصة بقية السلف، وأئمة جميع الخلف، وأعلام الأولياء، وأولياء الصلحاء، وأشياخ الخرقة والطريقة، وأقطاب الطريقة والحقيقة . ثبتت لدى المسلمين غوثيتهم وولايتهم، ووجبت عند الموحدين حرمتهم ورعايتهم، وهم رضي الله عنهم بمنزلة واحدة في النسب والمرتبة، إلا أن الأقوال تنوعت فيهم وفي مشاربهم وأحوالهم ومذاهبهم، وقد وفق الله لكل واحد منهم من أتباعه من جمع آثاره وذكر أخلاقه وأطواره

Beliau juga telah membuat sebuah nazam (sya’ir) tentang empat wali kutub, bunyinya :

والأوليا اذكرهم بخير أنهم # تبعوا الرسول بصحبة الآدابِ

خدموا شريعته وما اتبعوا الهوى # متمسكين بأشرف الأسبابِ

صحت ولايتهم بشاهد حالهم # فعلوا وصاروا وجهة الطلابِ

لهم الكرامات التي ظهرت بنا # كالشمس ما حجبت ببرد سحابِ

شهدت بها مذ شوهدت أهل الملا # وهي اختصاص الواهب السلابِ

ظهروا ببرهان الرسول تسلسلا # حتى لعهد الأربع الأقطابِ

ابن الرفاعي ثم عبد القادر الـ # ـجبلي وإبراهيم والعطابِ

قال الرفاعيون أحمد شيخنا # سلك الطريق بدق أنجح بابِ

ورأى الخضوع طريقة وحقيقة # تقضي بترك الزهور والإعجابِ

وسرى على سنن الحبيب ملازما # أحواله في السلب والإيجابِ

فلذاك قدمناه تقديما به # قام الدليل لنا بلا إسهابِ

والقادرية ثم فرقة أحمد آل # بدوي كل قال ذاك جوابِي

وكذاك أتباع الدسوقي ثم من # ينمى لغير طريقة ورحابِ

جزموا بصدق الأتباع لشيخهم # فراوه أعلا الأوليا الأنجابِ

فإذا توضحت الحقائق للذي # يدري بغير مسائل وجوابِ

ما كان من قول وفعل وارد # عن شيخ إرشاد رفيع جنابِ

زنه بميزان الشريعة واعتمد # في الأمر نص المصطفى الأوابِ

واعمل لحسن الظن بالتأويل في # ما دق من شطح لسد البابِ

وإذا نأى التأويل فانكر نسبة الـ # ـمنقول واحفظ حرمة الأحبابِ

واسلك طريق الهاشمي محمد # فسواه مردود بكل كتابِ

صلى عليه الله ما لمع الضحى # والآل والأزواج والأصحابِ

Masing-masing dari empat wali kutub itu mendirikan sebuah tarekat ra’isi (induk) yang memimpin semua tarekat sufi yang lain, Syekh Ahmad Arrifa’i ra. mendirikan Tarekat Rifa’iah, Syekh Abdul-Qadir al-Jailani ra. mendirikan Tarekat Qadiriah, Syekh Ahmad al-Badawi ra. mendirikan Tarekat Ahmadiah, dan Syekh Ibrahim Addusuqi ra. mendirikan Tarekat Burhamiah. Empat tarekat sufi tersebut lahir dari dua tarekat ibu-bapak yakni Tarekat Naqsyabandiah dan Tarekat Khalwatiah. Kedua tarekat ibu-bapak itu bersumber dari Saidina Abu Bakr ra. dan Saidina Ali ra. yang kemudian digabung oleh Imam al-Junaid ra. lalu bercabang lagi menjadi empat tarekat induk yang dipimpin oleh empat wali kutub. Pada zaman sekarang ini semua tarekat sufi yang ada mesti melalui salah satu dari empat wali kutub atau semuanya dalam silsilah terekat masing-masing, kalau tidak, maka tarekat tersebut masih diragukan keabsahannya.

Untuk mengenal lebih jauh empat wali kutub masyhur di atas maka pembaca boleh menelaah kitab-kitab di bawah ini :

1. Qiladatul-Jawahir fi Dzikril-Gautsirrifa’i wa Atba’ihil-Akabir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi ra.

2. Al-Ayatuzzahirah fi Manaqibil-Auliya’ wal-Aqthabil-Arba’ah oleh Syekh Mahmud al-Ghirbawi.

3. Farhatul-Ahbab fi Akhbaril-Arba’atil-Aqthab oleh Syekh Muhammad bin Hasan al-Khalidi ra.

4. dan lain-lain.

Berbicara so’al tugas para wali kutub tertinggi itu, kita dapat melihat peran-peran para imam mazhab yang empat dalam membimbing umat dalam hal syari’at. Oleh karena islam terdiri dari tiga martabat; islam, iman dan ihsan, maka para imam mazhab bertugas untuk memperbaharui dan mempermudah urusan syari’at umat (islam) yang kemudian para wali kutub bertugas untuk memperbaharui dan mempermudah perjalanan spiritual / tarekat umat (iman), yang akhirnya dengan kemantapan dua martabat itu hamba dengan mudah mencapai hakekat (ihsan). Syari’at dan tarekat tidaklah berbeda atau saling bertentangan, melainkan ia merupakan tangga-tangga yang harus dilalui oleh setiap hamba secara bertahap demi meraih derajat yang mulia di sisi Allah dan demi sebuah kesempurnaan dalam pengabdian kepada-Nya (kamalul-iman). Keislaman seseorang tentu menjadi tidak sempurna bila dijalani tanpa dua asas tersebut. Bermazhab untuk kesempurnaan zahir dan bertarekat untuk kesempurnaan batin.

Sebagaimana seorang hamba layaknya bermazhab (bermazhabkan salah satu dari mazhab fiqh yang empat), maka di sisi lain ia juga mesti bertarekat, dengan mengikuti / menganut salah satu tarekat dari empat tarekat sufi di atas. Atau mengikuti tarekat lain yang menjadi cabang dari salah satu tarekat induk tersebut.

Bila keluar dari mazhab yang empat dalam bersyari’at, dan keluar dari tarekat induk yang empat dalam bertarekat, maka tidak akan diterima oleh-Nya. Pintu ijtihad mutlak sudah tertutup, dan izin untuk mendirikan tarekat (induk) sudah berakhir.

Apakah Rasul pernah bermazhab? Apakah Rasul pernah bertarekat? Tentu tidak, sebab beliau merupakan sumber dan asal semua mazhab dan tarekat yang ada. Tidaklah mungkin seorang Rasul menganut mazhab muridnya, tidaklah mungkin beliau mengikuti tarekat pewarisnya. Justru para imam dan wali kutub-lah yang mengikuti beliau dan melalui tuntunan dan restu beliaulah mereka membuat mazhab dan tarekat agar diikuti oleh umat sesudahnya.

Dari itu penulis menasehati mereka yang mengatakan; Tidak ada mazhab dalam islam. Ketahuilah bahwa empat mazhab dan empat tarekat itu telah direstui dan diutus oleh Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu kala demi kemudahan umat dalam menjalankan syari’at-Nya. Tanpa mereka, semuanya tidak akan pernah stabil. Ingin membuat mazhab sendiri atau tarekat sendiri, ingin menjalankan syari’at islam tanpa melalui mereka, ingin bersuluk menuju Allah tenpa melalui jalan mereka, ingin kembali langsung kepada Qur’an dan Sunnah tanpa melalui hasil ijtihad mereka, maka dijamin tidak akan menghasilkan buah yang memuaskan. Bukankah kita sendiri yang selalu berdo’a; “Ihdinashshirathal-mustaqim, shirathalladzina an’amta alaihim” Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan mereka yang Engkau karuniai nikmat (para nabi, para rasul, para sahabat, para imam mazhab dan para wali kutub)?

Sebagaimana Rasul telah mengutus Saidina Mu’az bin Jabal ra. ke Yaman sebagai makan (tempat) untuk menjadi penunjuk jalan / membawa hidayah, maka beliau-pun mengutus seorang hadi (penunjuk jalan) pada setiap zaman (waktu) sesuadah beliau wafat? agar umat beliau dapat menemukan hidayah-Nya… kapanpun, dan dimanapun.

Allah berfirman:

” من يهد الله فهو المهتد ومن يضلل فلن تجد له وليا مرشدا ”

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu hai Muhammad tak akan mampu mempertemukannya dengan seorang wali mursyid (seorang penunjuk).

Tanpa seorang wali mursyid maka tenggelamlah hamba dalam lautan kesesatan. Qur’an dan Sunnah tidak akan pernah cukup tanpa seorang wali mursyid yang akan menuntun dan membimbing. Melalui restu dan petunjuk Allah maka Rasul-pun segera mempertemukan kita dengan wali mursyid yang menjadi pewarisnya, semoga Allah memberi hidayah kepada kita… amin.

Dengan niat yang suci, hati yang bersih dari segala sifat sombong dan angkuh, serta cinta yang mendalam kepada Rasul dan para auliya’ maka perjalanan menuju wali mursyid tidaklah jauh, sehingga hidayah Allah dapat kita nikmati dengan penuh ria.

Setelah empat wali kutub itu mendirikan tarekat induk masing-masing dan menanam bibit-bibit hidayah dan mahabbah dalam hati para pengikut setia, maka ajal-pun tak lupa menjemput mereka ke Rafiq A’la, yang kemudian muncullah para penerus-penerus sejati yang akan terus membimbing umat ke jalan-Nya, jalan penuh reda dan cinta. Para penerus sejati itulah para imam mujaddid setiap zaman, mereka adalah Auliya’ Mursyidun dan Ulama’ yang menjadi pewaris-pewaris Rasul, yang amat takut kepada Allah dan tahu rahasia-rahasia asma’ Allah.

Akhir kata… Disamping mengikuti tuntunan Qur’an dan Sunnah, semoga kita tidak lupa pula mengikuti dan berpegang teguh kepada Assab’ul-matsani (beserta para penerus) yang telah diutus oleh-Nya. Semoga kita tetap berlindung di bawah naungan mereka, agar selamat dari dunia sampai akhir masa… amin.

Mengikuti mereka adalah merupakan tuntutan Allah dalam Qur’an-Nya kepada kita, dan juga merupakan seruan Rasul dalam haditsnya “Udldlu alaiha binnawajiz”. Mereka adalah utusan-utusan-Nya, mereka adalah kekasih-kekasih-Nya, mereka adalah prantara-prantara kita menuju-Nya, mereka adalah pewaris-pewaris Rasul-Nya, dan mereka adalah para pembaharu dan imam masa.

Inilah suguhan ilmu para Auliya’-Nya…. yang diraih langsung dari-Nya… Subhanahu wa t’ala. Percaya atau tidak, diterima atau tidak, Allah telah berfirman :

” وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر ”

Katakanlah yang benar, yang telah kamu terima dari Tuhanmu. Selanjutnya………………………………… terserah mereka!

Referensi :

1. Pengajian-pengajian Maulana Syekh Mukhtar ra. (Syekh Tarekat Burhamiah)

2. Kitab Tabri’atuzzimmah oleh Syekh Muhammad Utsman Abduh al-Burhani ra.

3. Kitab Qiladatul-Jawahir oleh Syekh Abul-Huda Ashshayyadi al-Khalidi Arrifa’i ra.
4. Dan lain-lain.

sumber: http://www.aziznawadi


No comments: