Friday, October 17, 2008

Puisi Sufistik



Penyair persia Jalaluddin Rumi ini adalah salah satu penyair yang saya kagumi, bukan hanya syair-syairnya yang mendunia, tapi juga karena isi dari syair karya beliau tersebut yang membawa kita ke alam makripat. Membaca puisinya, serasa saya dibawa untuk berpikir tentang siapakah kita? mengapa kita ada? dan siapakah yang mencipta kita?.




Wujud keindahan dari puisi-puisi karyanya memang sudah banyak di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.Saya sendiri senang sekali jika saya membaca karya-karyanya, dan dari dinilah saya mulai menyenangi dunia tulis- menulis, yang salah satunya adalah menulis karya puisi.



Tentu karya saya tak dapat saya bandingkan dengan karya beliau, karena karya saya jauh dari keindahan yang sang pujangga Rumi ciptakan.Hanya saja seorang Rumi, bisa saja menjadi insfirasi bagi beberapa atau bahkan jutaan orang yang mulai berkarya, seperti halnya saya.

Disini saya kutip salah satu puisi beliau yang tentu sudah banyak yang mengetahuinya(jika anda termasuk penggemar puisi beliau).Dan saya sengaja mengutipnya dengan tiga bahasa.(Diambil dari berbagai sumber)



از جمادی مُردم و نامی شدم — وز نما مُردم بحیوان سرزدم

مُردم از حیوانی و آدم شدم — پس چه ترسم کی ز مردم کم شدم

حملهء دیگر بمیرم از بشر — تا برآرم از ملایک بال و پر

وز ملک هم بایدم جستن ز جو — کل شییء هالک الاوجهه

بار دیگر از ملک پران شوم — آنچه اندر وهم ناید آن شوم

پس عدم گردم عدم چو ارغنون — گویدم کانا الیه راجعون




I died as a mineral and became a plant,
I died as plant and rose to animal,
I died as animal and I was Man.
Why should I fear? When was I less by dying?
Yet once more I shall die as Man, to soar
With angels bless'd; but even from angelhood
I must pass on: all except God doth perish.
When I have sacrificed my angel-soul,
I shall become what no mind e'er conceived.
Oh, let me not exist! for Non-existence
Proclaims in organ tones,
To Him we shall return.



Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;

"Kepada Nya, kita semua akan kembali"



Ada satu lagi puisi yang saya senangi dari puisi beliau :

Tubuhku berdaki

Menerangi langit

Malaikat iri

Melihatku melejit.




Dan ada juga penyair sufistik yang lainnya,seperti misalnya An-Niffari.

Dalam Mauqif al-qurb :



Ia menghentikanku dalam posisi kedekatan,
dan berkata kepadaku:
Tak suatu pun lebih jauh dariku
terhadap sesuatu yang lain,
Tak satu pun lebih dekat dariku,
terhadap sesuatu yang lain,
Kecuali atas dasar hukum ketetapannya,
dalam hal kedekatan dan kejauhan,
Kejauhan diketahui dengan kedekatan,
kedekatan diketahui dengan wujud,
Akulah kedekatan yang tidak mencariku,
dan wujud yang tidak berakhir padaku.


Dan yang lainnya:

Akulah yang dekat,
tidak seperti kedekatan sesuatu dari sesuatu,
Akulah yang jauh
tidak seperti kejauhan sesuatu dari sesuatu.
Dekatmu bukanlah jauhmu,
Dan jauhmu bukanlah dekatmu.
Akulah yang dekat yang jauh,
dekat yang adalah jauh dan jauh yang adalah dekat.
Dekat yang kau ketahui ketahui adalah jarak,
Dan jauh yang kau ketahui adalah jarak,
Akulah yang dekat yang jauh tanpa jarak,
Aku lebih dekat dari lidah terhadap ucapannya,
tatkala ia menyebut sesuatu.
Maka yang menyaksikanku tidak menyebutku,
dan yang menyebutku tidak menyaksikanku.

Saya adalah penggemar puisi sufistik, karena disana selain saya bisa menuangkan ekspresi kepenulisan , juga saya sekaligus bisa atau dipaksa merenungi hakikat penciptaan dan siapa yang menciptakan.

Abdul hadi W.M.Beliau selain menulis puisi sufistik juga menerjemahkan karya dari bahasa lain kedalam bahasa indonesia.Termasuk menerjemahkan karya-karya Jalaluddin Rumi.







Saya juga senang sekali dengan karya-karya penyair lainnya seperti penyair Sujiwo Tejo, dan juga Emha Ainun Najib.Mereka salah satu yang saya kagumi karya-karyanya.

Salah satu karya Sujiwo sutejo (Mbah kuntet)

> Kidung Ki Kuntet " Al Masih Ad-Dajjal"

Dunia membara dengan panasnya, tatkala norma mulai fana.
Manusia dilindungi ketamakan, pongah dengan segala kerusakan ulah.

Al-Masih si mata satu, agung sebagai penyatu.
Dengan cahayanya membentang rengkuh dunia dan pesonanya menggelapkan mata.

"Kun fayakun, jadilah!",nyatalah apa yang diucapnya.
"Dialah Nabi, dialah nabi!" seru umat manusia.
mukjizat begitu nyata tatkala kedua tangannya bercahaya

"akulah Al-masih sang juru selamat, akulah pemimpinmu,
akulah si mata satu, maka sembahlah Tuhan )* yang satu"

Di keningnya tertulis "Kafir", dan hanya terlihat oleh orang-orang yang berfikir.







)* Definisinya adalah Iblis


Meski saya bukanlah seorang da'i apalagi seorang ulama', saya hanya seorang insan akhir zaman yang terlalu banyak salah dan khilaf, hanya mampu sekedar untuk meenafakuri diri, alam , ciptaan-Nya, dan Sang Pencipta.

Akhir kata mungkin saya hanya bisa berujar, bahwa tak ada yang lebih indah untuk di jadikan khayal tingkat tinggi kecuali Allah.Yang disana kita menyadari keberadaan kita sebagai mahluq-Nya.

Saya jadi teringat salah satu hadist qudsi ; " Dan segala sesuatu selain Allah adalah bathil".mungkin dari sini saya bisa berpikir, bahwa bersyair itu mungkin lebih tepat ditujukan hanya kepada Allah semata, apapun tema yang kita buat, karena segalanya tentu akan berbalik(baca:kembali) kepada ke Maha Kuasaan-Nya.

Wallohu'alam.

*Oleh: Nada 'poonymoony' Nurfauzie


No comments: